Mengenang 100 Hari Kepergian Papah: Kami Memanggilnya Tampan dan Berani

Dari yang Personal, Tentang Apa dan Bagaimana itu Dapat Terjadi?

Hampir tak ada satu pun kata yang dapat aku sampaikan saat akan menulis ini. Menulis suatu riwayat tentang kepergian seorang yang kami sayangi, sesosok lelaki humoris berperawakan sintal penuh senyum; ialah Papah kami dan suami dari Ibu kami.

Ketika melihat foto terakhir bersamanya, dunia serasa runtuh, punggung terasa berat, dan ingatan terakhir saat kami menemaninya di bangsal rumah sakit seketika ditarik kembali. Bisa aku bilang, ini menjadi semacam patah hati pertama terbesar sepanjang sejarah hidup di bumi.

Pagi itu, Selasa, 1 Februari 2022, tak ada tanda atau sesuatu yang membuat seolah-olah hari itu merupakan hari terakhir aku berbicara dengannya melalui telpon. Papah dan Ibu menelpon untuk memberitahu bahwa mereka sedang berada di Dipati Ukur dan hendak mengajak makan bersama. Namun karena lokasiku berada cukup jauh dari Dipati Ukur, aku tak dapat mengiyakan ajakan tersebut.

Sampai pada sore hari, 30 menit setelah ibu dan papah sampai di Sumedang, Ibu menelpon sambil diiringi tangis sesenggukan. Papah muntah. Mengeluarkan keringat berlebih. Suhu badannya mendadak tinggi. Tekanan darahnya menembus angka 200. Ia jatuh. Tumbang. Lantas tak sadarkan diri. Papah harus dirawat di ruang HCU.

Mendengarnya, aku setengah percaya. Langit Bandung tiba-tiba muram. Suara berisik orang-orang di taman, samar terdengar; suara tawa, bisikan angin, gosip ibu-ibu saat menemani anaknya latihan sepakbola, keluhan pelatih saat melihat muridnya berseteru, ketuk pentungan penjual cuanki. Semuanya samar. Bercampur aduk dengan perasaan yang tak menentu.

Kondisi ini benar-benar di luar dugaan dan di luar kapasitas kami. Tak ada yang dapat kami lakukan selain pergi menemaninya berbaring di atas kasur rumah sakit. Pada kondisi seperti ini, tetap berdo’a dan berharap Allah mengirim bala bantuan melalui tangan dokter adalah satu-satunya hal yang dapat kami perbuat.

Sejak Papah berada di ruang berpendingin dengan kesunyiannya yang nyaring. Malam hari menjadi waktu paling horror dibanding film horror mana pun. Ini seperti aku berada di bumi bagian antah berantah dengan putaran rotasi dan revolusi yang sangat berbeda. Untuk menghabiskan waktu satu jam bersama di sampingnya, terasa seperti 5 jam waktu normal.

Suara mesin dan rintihan rasa sakit yang ia rasakan—belum lagi suara pasien lain—pada malam-malam di sana, seolah tak mau pergi dari gendang telinga. Ia bersemayam. Ia menetap. Ia bergerilya untuk bersembunyi di antara sela-sela indera pendengar. Benar-benar mengganggu.

Sembari mata mengawasi tubuh berontak yang terbebani sakit yang amat dahsyat yang terikat pada tempat tidur, cara satu-satunya yang dapat menenangkan kami para penunggu adalah membaca surah Yasin. Entah berapa kali dan berapa balik lembar Yasin telah dibaca dan dihadiahkan khusus untuknya. Setidaknya, surah Yasin telah menjadi pemberi ketenangan dan penanda pada kami bahwa untuk menyelesaikannya membutuhkan waktu ± 10 menit.

Hari-hari di rumah sakit adalah pengalaman pertama terburuk dalam hidupku. Dihantui kecemasan, diteror ketidakpastian dan diselimuti ketakutan. Perasaan takut yang hebat ini belum pernah kami alami sebelumnya. Betapa kami sangat takut jika tiba-tiba, ia pergi begitu saja meninggalkan kami.

Namun takdir menjawab sebaliknya. Nasib beruntung tidak berada di pihak kami. 8 Februari 2022 Papah benar-benar telah pergi. Perjalanannya diharuskan untuk selesai di rumah sakit berbeda di kota yang lain. Ia yang tak pernah memiliki riwayat masuk dan dirawat di rumah sakit, di usianya yang ke-50, ia mesti mendekam di salah satu rumah sakit. Tanpa dapat ditemani.

Sepi, benar-benar menjadi sahabat Papah menjelang kepergian menuju keabadian.

Seorang Ayah, Suami, Sahabat & Guru Terbaik Sepanjang Masa

Kami mengenalnya sebagai sosok yang gemar bercanda dan jarang serius.

Menjelang kepergiannya, ia selalu berkata pada orang-orang, "Kematian itu bukan untuk orang sakit, ia hinggap dan membayangi pada orang-orang yang hidup," katanya, sambil tertawa kecil kepada kami dan orang-orang terdekatnya.

Namun siapa sangka, kami tak pernah mengira jika ucapan tersebut menjadi nasihat terakhir paling serius di penghujung hayatnya. Ia seolah sedang memprediksikan kematiannya dan menyiapkan cara agar kami tak berlebihan dan larut dalam kesedihan yang panjang akibat kepergiannya yang serba mendadak.

Sekarang aku sedikit paham.

Ketidakseriusannya adalah penanda bahwa ia selalu serius dalam menghadapi segala problema dunia. Tertawaannya adalah sebaliknya; tangis yang tak mampu ia keluarkan. Hanya satu kali, selama aku hidup, aku melihatnya menangis. Itu ketika ia kehilangan ibunya.

Tangisnya adalah nyanyian sunyi saat ia sudah tak mampu lagi membendung semuanya yang selalu ia simpan baik-baik jauh dalam hatinya. Rasa bersalah. Tak berdaya. Kehilangan.

Meski begitu, setelahnya ia selalu menyela dengan kalimat sakti pada kami. “Sudahlah. Hidup harus terus berjalan. Ini adalah salah satu jalan dari hidup.”

Ia adalah sosok lelaki paling ramah, bertanggungjawab, pantang menyerah, disiplin dan paling berani yang aku kenal selama ini. Meski ada beberapa hal yang aku tak setujui darinya, tapi tidak lantas aku mengingkari keberadaan dan pencapaiannya selama ia hidup. Toh ia pun manusia yang sama seperti kita, tidak sempurna dan selalu memilliki kesalahan.

Kendati kehilangan ini datang begitu cepat dan secara tiba-tiba, kami berjanji akan menghadapinya dengan lapang dada dan memulai hari baru dengan segenap kekuatan yang kami miliki saat ini. Kami yakin, Papah telah berada di dunia yang penuh damai dan canda tawa.

Hampir semua orang di kampung merasakan kehilangan atas kepergiannya. Tak ada yang menyapa saat ia menyalakan laju mobilnya. Tak ada lagi sosok penghibur. Bahkan tak ada lagi sahabat bagi para bocah kematian di sekitaran sekolah.

Kepada ia yang telah menanamkan benih pantang menyerah, tanggung jawab, disiplin dan semangat anti-keserakahan, hormat kami berikan. Akan kami lanjutkan tongkat estafet ini, meski badai telah menanti di garis depan.

Rest in Power 🌹 doa terbaik untuk Papah, imam besar kami. Damai dan tetaplah menabur tawa di singgasana Allah! Al-Fatihah.