Catatan Singkat atas Buku Seperti Roda Berputar Karya Rusdi Mathari

Seperti roda berputar, kehidupan tak pernah sekalipun mengizinkan kita untuk bergerak mundur. Ia terus maju. Sekalipun kita tidak pernah menyetujui atau menyukainya, kita wajib untuk maju. Bahkan ketika kita tahu esok adalah putaran terakhir dari sang roda. Kita tidak diperbolehkan berhenti bergerak maju sebelum saatnya tiba.

Sejak beratus purnama tak pernah menyentuh dan menyempatkan waktu untuk membaca—entah itu buku atau jutaan artikel daring yang tersebar di berbagai platform—bacaan pertama saya jatuh pada buku catatan milik Rusdi Mathari atau orang-orang biasa memanggilnya Cak Rusdi.

Sebenarnya, saya pun tak tahu ada buku sebagus dan semenyentuh milik almarhum Cak Rusdi ini. Ia adalah buku yang diselipkan oleh agen penjual buku di marketplace daring sebagai bonus atas pembelian buku yang lain. Entah apa motif dari si agen menyelipkan buku tersebut. Sepertinya ia memiliki indera keenam yang cukup tajam untuk mengetahui bagaimana perasaan konsumennya atau ia memang cukup lihai dan memiliki alat canggih untuk dapat membaca algoritma perilaku konsumen.

Ketika pertama kali saya membuka dan membaca lembar demi lembar catatan almarhum Cak Rusdi, yang selalu terbayang adalah sosok almarhum Papah. Sosok laki-laki yang jarang saya kecup tangannya saat lama tidak berjumpa dan bilang “Kakak sayang Papah” kala Hari Ayah tiba.

Melalui catatan yang Cak Rusdi tulis sebelum ia pergi ke rumah sakit sampai menjelang ajalnya, ada perasaan merinding dan menyakitkan, namun sekaligus melegakan. Sepanjang ia bercerita, saya selalu terbayang betapa menakutkannya saat tinggal di rumah sakit.

Cak Rusdi dengan piawai dan semangat yang tinggi tetap berusaha menulis meskipun tangan kiri memegang gawai sementara jempol tangan kanan mengetik. Semacam ada gairah hidup yang masih tetap menggebu di ujung senjakalanya. Tak heran kalau buku catatan miliknya ini terasa sangat personal untuk saya yang baru satu tahun ditinggal Papah.

Sampai-sampai saya merasa iri kepada Voja, anaknya. Iri karena ayahnya masih sempat menuliskan pengalamannya pada saat masa-masa kritisnya itu. Sepanjang membaca buku ini, saya bahkan sempat menganggapnya masih hidup sampai sekarang. Mungkin pengalaman dari membaca seperti inilah yang kemudian disebut sebagai keabadian bagi sang penulis.

Meskipun Papah bukanlah seseorang seperti Cak Rusdi—seseorang yang abadi dalam karya tulis yang telah banyak ia bikin—tetapi saya kira, semangatnya tetaplah sama. Sebagai sosok Ayah dalam keluarga, mereka berdua adalah laki-laki yang hebat yang berani mengejawantahkan dan teguh mempertahankan keyakinannya dan bertanggungjawab atas tindakannya.

Menjelang Papah meninggal, tak ada sebuah percakapan yang berarti antara saya dan dirinya. Perjumpaan terakhir saya dengannya adalah ketika mendatanginya di rumah sakit Sumedang dan hanya mendapati dirinya tengah berbaring koma di atas brankar IGD.

Bahkan selama 7 hari tinggal di rumah sakit, hanya 3 hari saya benar-benar berada di samping brankar untuk menemani dan membacakan lantunan Yaasin. Tanpa ada berbagi cerita, kenangan, apalagi sebuah surat wasiat—satu-satunya yang ia tinggalkan adalah catatan bon hutang konsumen kepada dirinya & catatan atas perhitungan laba-rugi dari penjualan barang cetak (dan ini sangat membantu untuk merekap keuangan sebetulnya). Kematiannya adalah kesunyian yang paling menyebalkan sepanjang hidup ini.

Barangkali ini adalah takdir dan jalan cerita yang memang mau-tidak-mau harus dialami oleh saya, ibu dan adik-adik saya. Sebuah manifestasi dari Seperti Roda (yang) Berputar. []