Maaf, Bu

Sejak aku tahu bahwa ibu kami diam-diam mencurahkan air mata yang deras di balik pintu kamarnya, dunia rasanya akan segera runtuh. Aku begitu tidak berdaya. Aku telah menjadi seorang anak yang gagal dalam segala aspek. Bahkan untuk menahan laju air matanya yang deras.

Tak ada lagi matahari yang terbit setelahnya. Bahkan untuk bangun pun rasanya enggan. Setiap hari aku hanya merasa bahwa aku sudah tidak layak berada di sisinya. Aku tidak mampu untuk membantunya. Untuk urusan yang ditinggalkan Papah pun, aku masih belum bisa menanganinya.

Menjelang matahari terbenam, rasa takut itu terus bermunculan. Bahwa esok akan tetap menjadi hari yang kian menyeramkan. Bahwa esok, aku masih akan terbaring lemas di atas tempat tidur tanpa melakukan apa pun dan hanya meminta makan kepadanya.

Hari itu, aku membisikan sesuatu pada Papah. Dalam keadaannya yang koma, aku merintih dan mengatakan janji bahwa, “percayakan saja pada kakak.” Tentu ia tidak dapat menjawabnya. Ia hanya menanggapinya dengan rintihan rasa sakit, keadaan yang sesak, dan mungkin berada dalam dimensi sepi yang gelap yang entah ada di mana.

Aku rasa, hari ini, tindakanku itu merupakan sesuatu yang konyol. Seolah-olah aku mampu menjalani semuanya. Menangani semuanya. Aku pikir aku bisa. Aku pikir aku punya teman. Aku pikir aku punya seseorang yang dapat meyakini bahwa aku dapat melakukannya. Aku pikir, aku takkan pernah mengalami rasa sakit dan kesepian ini.

Aku ingin saja mempercayai celetukan orang tentang, “ini bukan tidak mungkin, hanya saja tidak mudah.” Tapi bagiku, ini mendekati mustahil.

Aku merasa semua orang telah secara perlahan meninggalkanku. Melupakanku.